Aku kedinginan.
Cukup sekali keadaan menyiksaku, Aku tak mau ada di
sini, tempat ini menakutkan.
Entah jalan fiksi yang mengambang atau mengapung, aku
kini berada dalam suatu situasi terpaksa yang dipaksakan.
“Hallo, asalamualaikum..” Bapak itu
mengangkat teleponnya, terdengar selintas olehku di balik teleponnya sangat
ramai sekali. “Apaa??!! Innalillahi….. Kakak.. Iyaiya, tunggu
kita sekarang mau putar balik”. Bapak itu menutup teleponnya.
“Ada apa pak?” Ibu-ibu di sampingnya langsung bertanya,
menyambar seperti petir yang masih terdengar jelas di langit malam ini.
“Kakak, kakak meninggal, Bu..” Bapak-bapak itu menjawab
sambil menghentikan mobil yang cukup membuat tubuh penumpangnya terbanting.
“Kita putar balik sekarang”. Dia langsung bicara.
“Eehh.. Pak, maaf. Rasti sepertinya tidak bisa ikut
balik lagi, besok Rasti mau ujian S2. Rasti mohon maaf, Rasti turut berduka
cita ya Pak, atas meninggalnya kakak Bapak.” Dengan sedikit perasaan tak enak,
aku bicara memotong kedukaan Bapak-bapak itu.
“Lalu, maksudnya Ras mau turun di sini?? Ini kan sudah
malam, sedang hujan lebat pula. Tidak ah, Bapak tidak mau Ras kenapa-kenapa.”
Bapak-Bapak itu menyela.
“Ah.. tidak apa-apa Pak, Ras sudah biasa. Lagipula, suka
ada angkutan umum kok, walaupun sudah malam seperti sekarang ini.” Aku
berargumen.
“Benar?? Bapak tidak mau kalo nanti Ras kenapa-kenapa.
Bapak mau bilang apa nanti sama Ayah Ras, kalau sampai Ras kenapa-kenapa.”
Bapak-bapak itu membalas lagi.
“Iya pak, tenang saja. Ras turun di sini aja. Nanti juga
suka ada angkutan umum kok Pak.”
“Hmmm.. yasudah kalo begitu, hati-hati ya Ras, kalo ada
apa-apa langsung telepon Bapak aja yah.”
***
Aku akhirnya turun dari mobil bapak-bapak itu.
Bapak-bapak itu adalah teman baik Ayahku, dia dan istrinya kebetulan akan pergi
ke kota tempat aku kuliah. Daripada aku naik kendaraan umum, lebih baik aku
ikut saja menumpang dengan mereka, begitulah kata Bapak-Bapak itu.
Tapi keadaan ini sungguh di luar dugaan, Kakak
bapak-bapak itu meninggal, dan dalam posisi besok pagi aku akan menghadapi
ujian S2-ku. Aku tidak mau putar balik lagi, jaraknya sudah setengah jalan
menuju ke kota, hematku itu pasti akan buang-buang waktu, karena aku tahu suka
ada kendaraan umum, kenapa aku tidak turun saja disini. Begitu yang kupikirkan.
Dan hey, dimana aku sekarang, hujan makin deras saja,
petir juga tak henti menampakkan kesombongannya dan yang tak kalah adalah gelap
sekali di sekelilingku, hanya bercahayakan lampu jalan yang samar-samar
menampakkan sebuah gedung besar. Aku mendekati gedung itu, ternyata itu adalah
sebuah kantor. Aku sorot menggunakan ponselku, dan tertulis Dinas Pendidikan,
eh ini di sini rupanya. Aku tahu daerah ini, daerah yang… ah sudahlah. Dan
sepertinya aku harus berteduh di tempat ini, hujan makin menjadi-jadi saja.
Melangkah ragu, aku masuk ke gerbang kantor ini, untuk
kantor sepenting ini sepertinya letaknya kurang strategis, jauh dari keramaian,
jauh dari pemukiman warga. Mungkin lebih karena keadaan daerahnya yang masih
banyak pohon, banyak hutan, dan letaknya yang curam. Sehingga terkesan jauh
dari mana-mana.
Sudah kuduga, pasti gerbangnya tidak dikunci. Tapi, itu
memberikan pertolongan penting untukku. Aku bisa berteduh di sini.
***
Aku seperti anak gelandangan saja, duduk di serambi kantor ini sambil memeluk lutut kedinginan, suasana makin mencekam, gelap menemaniku, hujan tak kunjung reda, petir terus menyambar, dan kendaraan umum bahkan satupun kendaraan tak ada yang lewat. Aku mulai khawatir, aku mulai ketakutan, aku tak tahu harus melakukan apa sekarang. Aku tak mau ketinggalan ujian S2-ku besok. Kulihat di ponselku, sudah menunjukkan pukul 11 malam. Bagaimana ini?? Baru kali ini aku mengalami ketakutan yang luarbiasa. Tiiiing…. Sebuah ide tiba-tiba muncul dari otakku. Semoga, semoga nomornya masih aktif, semoga dia belum tidur, dan semoga dia mau membantuku. Banyak sekali kata semoga yang kuhaturkan ke langit gelap malam ini.
Tak pikir panjang aku langsung mengetikkan pesan dan
mengirimnya. Selang beberapa menit, tak kunjung ada balasan pesanku. Aku sudah
putus asa. Tapi setelah berpikir sampai ujian S2-ku, aku putuskan untuk
mengirimkan pesan lagi, tapi kali ini dengan kata-kata yang lebih panjang lagi.
Semoga, semoga dia mau membantuku.
Dddrrrrr..
Ponselku bergetar, alhamdulillah dia membalasnya, aku buka pesannya dengan hati
yang bergetar. Kubaca kata demi kata “Iya tunggu sebentar, Aku menuju ke sana.”
Perasaanku lega, aku sudah tak ketakutan lagi, aku sedikit tenang sekarang.
Aku menunggu, dua menit, lima menit, sepuluh menit,
kenapa dia tak kunjung muncul?? Apa dia berubah pikiran? Apa dia tak mau
membantuku? haah… seketika aku kehilangan harapanku tadi.
Aku kini pasrah, aku menangis, aku tak tahu harus
melakukan apa sekarang.
***
“Ras.. Ras.. Rasti… Ras kamu tidur?” Seseorang dengan
suara yang tak asing bagiku menggoyang-goyangkan tubuhku—membangunkanku.
“Hah.. aduh.. dimana ini?!!” Dengan sadar tak sadar aku
refleks bicara.
Aku ketiduran, setelah lama menunggu, setelah aku merasa
pasrah tadi, tanpa terasa aku tertidur disini, tertidur dengan posisi memeluk
lututku kuat-kuat.
“Maaf, tadi aku lupa nyimpan kunci mobilku, makanya aku
telat datang ke sini.” Dia bicara, sambil diiringi nada-nada kasar hujan malam
ini, menatapku—sejenak.
“Oh iya, ga apa-apa. Maaf yah, aku sudah merepotkan
kamu, aku gak tahu lagi mesti gimana. Aku terjebak di sini.” Aku menjelaskan.
“Iya. Yaudah.. ayo.” Dia mengajakku sambil menjulurkan
tangannya lebar, tangan yang sudah tak asing lagi bagiku, tangan yang dulu
sempat menggenggamku ‘cukup lama’, dua tahun-an mungkin.
“I.i.iiya…” Aku meraih tangannya dan aku menatapnya,
meski tak begitu jelas, meski remang-remang, tapi aku masih bisa membayangkan
bagaimana parasnya sekarang.
“Sini berlindung di jaketku, hujannya deras sekali. Aku
tak mau kalo kamu langsung bersin-bersin kaya dulu.” Dia menarikku, memberikan
perlindungan kepadaku dengan jaketnya.
Aku hanya diam—menurut. Aku dan dia pun lari beriringan
menuju ke mobilnya. Aku tak tahu apa yang sedang kupikirkan, Aku merasa keanehan
di sini, Aku tak sangka dia masih begitu ingat dengan kebiasaan-kebiasaanku
dulu.
“Kamu ko bisa ada di sini sih?” Di dalam mobil, dia
memulai pembicaraan.
“Iya, tadi aku diantar temen ayahku, tapi dia pulang
lagi, soalnya kakaknya meninggal.” Aku menjelaskan.
“Lalu, kenapa kamu gak ikut pulang?” Dia bertanya, masih
seperti pertama dia membangunkanku, nada bicaranya datar sekali. Tanpa ada
hiasan ekspresi pada umumnya.
“Besok pagi aku mau ujian S2-ku, aku pikir bakal ada
angkutan umum yang lewat, makanya aku putuskan untuk berhenti di sini saja. Eh,
aku malah kejebak di sini.” Aku menambahkan.
“Ooohh.. Yasudah, Kita berhenti dulu yah sebentar
dirumahku, setelah itu kita langsung ke kota.” Masih sama, nadanya datar
sekali.
“Ah, maksudnya?” Aku langsung menyambar perkataannya.
Kulihat sejenak wajahnya dari samping, setelah itu, mataku liar melihat keluar
mobil, suasana tak berubah, hujan masih deras dan petir tak memberi ampun
sedikitpun untuk menghentikan kekuatannya.
“Aku antar kamu ke kota, Supaya kamu besok bisa ujian.
Kalo misalkan, berangkat subuh-subuh, takut kamu kecapean.” Dia menjelaskan,
dan sempat melirik kepadaku.
“Eh iya, makasih Den.” Suaraku mengecil, aku senang,
syukurlah, dia mau membantuku.
Dendra, orang yang dulu sempat jadi pengisi hatiku,
orang yang sempat bilang ‘aku suka sama Ras’ dan aku membalasnya sama. ‘Aku
juga suka sama Den’. Dulu sekali, mungkin sekitar lima-enam tahunan. Tapi,
entah kenapa, walaupun aku waktu itu sebal, kesal, dan marah karena Den
menghianatiku. Aku selalu lapang memaafkannya, dan seketika, tak ada lagi rasa
sebal, kesal dan marah itu. Aku selalu berpikir, toh jodoh di tangan Tuhan,
buat apa aku bersedih hati.
Dan sekarang, itu terbukti, keadaan mempertemukan kita
lagi, Aku tak sangka, aku bisa terjebak di daerah tempat tinggalnya. aku tak
sangka, nomor telepon dia masih aktif dari dulu. Aku juga tak sangka, dia masih
ingat aku, setelah bertahun-tahun tak bertemu. Tapi syukurlah….
***
“Ras.. Ras.. Rasti kecapean yah?” Lagi, dia
membangunkanku yang kembali tertidur di mobilnya.
“Eh, ya ampun maaf Den, hehe.” Aku mengucek mataku. “Ini
di rumah kamu yah?” Aku bertanya dan langsung melihat keadaan sekitar.
“Iya.. Ayo masuk dulu. Kamu makan dulu, pasti kamu
lapar.” Nada bicaranya berubah, dia tak sedatar tadi. Wajahnya lebih ekspresif.
“Ih, ga usah Den. Aku jadi gak enak sama kamu. Lagian
ini sudah tengah malam, ga baik makan tengah malam begini.” Aku membela diri.
“Alaaahhh.. Kamu so pinter, biasanya juga kamu makan
kapan aja, gak kenal malam, gak kenal siang. Iya kan? hahaha.” Dia tertawa
mengejekku. ternyata dia masih begitu hapal dengan kebiasaanku dulu.
“ah Den bisa aja.” Aku agak sedikit malu dia bicara
seperti itu.
“Ayo turun, pake lagi jaketnya. Ibuku sudah masak, tadi
sebelum berangkat aku sudah menyuruhnya. Oya, maaf juga yah, tadi aku gak balas
sms kamu yang pertama, soalnya aku lagi di kamar mandi, terus aku telat jemput
kamu itu, aku lupa naroh kunci mobilku.” Dia menjelaskan.
“hehe iya, ternyata kamu masih kaya dulu yah, pelupa.
hehehe.” Aku membalas mengejek.
“Beginilah, tak ada yang berubah dariku. Ih ko malah
ngobrol sih, ayo cepat turun.”
***
Selepas makan tengah malam itu, Den langsung mengantarku
ke kota.
“Ras, kamu hebat yah, udah S2 lagi.” Dia memulai
percakapan di perjalanan yang kedua ini.
“iya, alhamdulillah Den, setelah lulus S1 Farmasi,
ayahku langsung menyuruhku lanjut S2.” Aku menjawab.
“Bagus itu, terus kamu belum kerja dong?”
“Belum, Den. Tapi, alhamdulillah, udah ada kepala Rumah
Sakit swasta yang menawarkan aku untuk kerja di sana selepas wisudaku nanti.
Kalo kamu udah kerja?” Aku menjelaskan.
“Aku udah, Ras. Di dinas Kehutanan. Oya Ras, aku mau
tanya sesuatu sama kamu?” Dia tiba-tiba melirikku tajam.
“Apa, Den?” Aku membalas meliriknya. Hujan di luar tak
ada yang berubah, mungkin cuma frekuensi petir saja yang agak berkurang.
“Ras, kapan nikah?”
“Ih.. hahaha.. aduh, Den. Kok nanya kapan nikah sih.”
Aku tertawa.
“Iya. Takutnya kamu mau cepat nikah. Soalnya aku udah
siap kapanpun kamu mau nikah.” Dia menjawab dengan serius.
“Maksud kamu?” Aku mengkerutkan dahi.
“Iya, Aku siap untuk menikah sama kamu kapanpun itu.
Kamu mau kan menikah denganku? Kapanpun kamu mau, aku akan siap, aku akan
menunggu.” Sejenak dia menatapku tajam.
“Den??” Hatiku sungguh bertanya-tanya.
“Ras, Aku mencintaimu, Maafkan aku, dulu aku sempat
membuat kamu kecewa. Tapi, sekarang aku janji, aku takkan mengecewakanmu lagi.”
Tiba-tiba dia menghentikan mobil. “Maukah kamu menikah denganku?” Kali ini,
lama dia menatapku. Aku sungguh kehabisan kata-kata. Aku tak tahu harus bicara
apa.
“Den, Minggu depan, setelah aku selesai ujianku, maukah
kamu datang ke Ayahku untuk mengatakan itu?” aku menatap matanya, aku melayang,
aku tak sadar telah mengucapkan itu.
“Benarkah?!” Dia sedikit berteriak, membangunkan tahta
lamunanku di matanya
“Eh, ii.iiya..”
“Aku akan menemui ayahmu, Aku akan menunggumu,Ras.” Dia
semangat sekali, dan langsung menghidupkan kembali mobilnya.
Hujan malam ini sungguh hujan terindah dalam hidupku,
petir malam ini adalah petir nyanyian yang indah untukku. Dan situasi terpaksa
yang dipaksakan ini sungguh menemukanku dengan gerbang kebahagiaan, semoga….
Ternyata benar pemikiranku dulu saat aku dikecewakan
oleh dia, oleh orang yang akan melamarku minggu depan. Buat apa aku bersedih
saat dia menyakiti dan mengecewakanku, toh jodoh ada di tangan Allah..
Teruslah berkarya dan memantaskan diri, pasti jodoh terbaik
akan datang dengan sendirinya.
—Ana Samrotul Inayah
0 komentar:
Posting Komentar
Terimakasih atas kunjungan anda ke blog Ana. Silahkan berikan komentar dan masukannya :)