Jumat, 13 Januari 2017

Situasi Terpaksa yang Dipaksakan



Aku kedinginan.
Cukup sekali keadaan menyiksaku, Aku tak mau ada di sini, tempat ini menakutkan.
Entah jalan fiksi yang mengambang atau mengapung, aku kini berada dalam suatu situasi terpaksa yang dipaksakan.

“Hallo, asalamualaikum..” Bapak itu mengangkat teleponnya, terdengar selintas olehku di balik teleponnya sangat ramai sekali. “Apaa??!! Innalillahi….. Kakak.. Iyaiya, tunggu kita sekarang mau putar balik”. Bapak itu menutup teleponnya.
“Ada apa pak?” Ibu-ibu di sampingnya langsung bertanya, menyambar seperti petir yang masih terdengar jelas di langit malam ini.
“Kakak, kakak meninggal, Bu..” Bapak-bapak itu menjawab sambil menghentikan mobil yang cukup membuat tubuh penumpangnya terbanting. “Kita putar balik sekarang”. Dia langsung bicara.
“Eehh.. Pak, maaf. Rasti sepertinya tidak bisa ikut balik lagi, besok Rasti mau ujian S2. Rasti mohon maaf, Rasti turut berduka cita ya Pak, atas meninggalnya kakak Bapak.” Dengan sedikit perasaan tak enak, aku bicara memotong kedukaan Bapak-bapak itu.
“Lalu, maksudnya Ras mau turun di sini?? Ini kan sudah malam, sedang hujan lebat pula. Tidak ah, Bapak tidak mau Ras kenapa-kenapa.” Bapak-Bapak itu menyela.
“Ah.. tidak apa-apa Pak, Ras sudah biasa. Lagipula, suka ada angkutan umum kok, walaupun sudah malam seperti sekarang ini.” Aku berargumen.
“Benar?? Bapak tidak mau kalo nanti Ras kenapa-kenapa. Bapak mau bilang apa nanti sama Ayah Ras, kalau sampai Ras kenapa-kenapa.” Bapak-bapak itu membalas lagi.
“Iya pak, tenang saja. Ras turun di sini aja. Nanti juga suka ada angkutan umum kok Pak.”
“Hmmm.. yasudah kalo begitu, hati-hati ya Ras, kalo ada apa-apa langsung telepon Bapak aja yah.”

                                                                 ***

Aku akhirnya turun dari mobil bapak-bapak itu. Bapak-bapak itu adalah teman baik Ayahku, dia dan istrinya kebetulan akan pergi ke kota tempat aku kuliah. Daripada aku naik kendaraan umum, lebih baik aku ikut saja menumpang dengan mereka, begitulah kata Bapak-Bapak itu.
Tapi keadaan ini sungguh di luar dugaan, Kakak bapak-bapak itu meninggal, dan dalam posisi besok pagi aku akan menghadapi ujian S2-ku. Aku tidak mau putar balik lagi, jaraknya sudah setengah jalan menuju ke kota, hematku itu pasti akan buang-buang waktu, karena aku tahu suka ada kendaraan umum, kenapa aku tidak turun saja disini. Begitu yang kupikirkan.
Dan hey, dimana aku sekarang, hujan makin deras saja, petir juga tak henti menampakkan kesombongannya dan yang tak kalah adalah gelap sekali di sekelilingku, hanya bercahayakan lampu jalan yang samar-samar menampakkan sebuah gedung besar. Aku mendekati gedung itu, ternyata itu adalah sebuah kantor. Aku sorot menggunakan ponselku, dan tertulis Dinas Pendidikan, eh ini di sini rupanya. Aku tahu daerah ini, daerah yang… ah sudahlah. Dan sepertinya aku harus berteduh di tempat ini, hujan makin menjadi-jadi saja.
Melangkah ragu, aku masuk ke gerbang kantor ini, untuk kantor sepenting ini sepertinya letaknya kurang strategis, jauh dari keramaian, jauh dari pemukiman warga. Mungkin lebih karena keadaan daerahnya yang masih banyak pohon, banyak hutan, dan letaknya yang curam. Sehingga terkesan jauh dari mana-mana.
Sudah kuduga, pasti gerbangnya tidak dikunci. Tapi, itu memberikan pertolongan penting untukku. Aku bisa berteduh di sini.

                                                                     ***

Aku seperti anak gelandangan saja, duduk di serambi kantor ini sambil memeluk lutut kedinginan, suasana makin mencekam, gelap menemaniku, hujan tak kunjung reda, petir terus menyambar, dan kendaraan umum bahkan satupun kendaraan tak ada yang lewat. Aku mulai khawatir, aku mulai ketakutan, aku tak tahu harus melakukan apa sekarang. Aku tak mau ketinggalan ujian S2-ku besok. Kulihat di ponselku, sudah menunjukkan pukul 11 malam. Bagaimana ini?? Baru kali ini aku mengalami ketakutan yang luarbiasa. Tiiiing…. Sebuah ide tiba-tiba muncul dari otakku. Semoga, semoga nomornya masih aktif, semoga dia belum tidur, dan semoga dia mau membantuku. Banyak sekali kata semoga yang kuhaturkan ke langit gelap malam ini.
Tak pikir panjang aku langsung mengetikkan pesan dan mengirimnya. Selang beberapa menit, tak kunjung ada balasan pesanku. Aku sudah putus asa. Tapi setelah berpikir sampai ujian S2-ku, aku putuskan untuk mengirimkan pesan lagi, tapi kali ini dengan kata-kata yang lebih panjang lagi. Semoga, semoga dia mau membantuku. 
Dddrrrrr.. Ponselku bergetar, alhamdulillah dia membalasnya, aku buka pesannya dengan hati yang bergetar. Kubaca kata demi kata “Iya tunggu sebentar, Aku menuju ke sana.” Perasaanku lega, aku sudah tak ketakutan lagi, aku sedikit tenang sekarang.
Aku menunggu, dua menit, lima menit, sepuluh menit, kenapa dia tak kunjung muncul?? Apa dia berubah pikiran? Apa dia tak mau membantuku? haah… seketika aku kehilangan harapanku tadi.
Aku kini pasrah, aku menangis, aku tak tahu harus melakukan apa sekarang. 

                                                                      ***

“Ras.. Ras.. Rasti… Ras kamu tidur?” Seseorang dengan suara yang tak asing bagiku menggoyang-goyangkan tubuhku—membangunkanku.
“Hah.. aduh.. dimana ini?!!” Dengan sadar tak sadar aku refleks bicara. 
Aku ketiduran, setelah lama menunggu, setelah aku merasa pasrah tadi, tanpa terasa aku tertidur disini, tertidur dengan posisi memeluk lututku kuat-kuat.
“Maaf, tadi aku lupa nyimpan kunci mobilku, makanya aku telat datang ke sini.” Dia bicara, sambil diiringi nada-nada kasar hujan malam ini, menatapku—sejenak.
“Oh iya, ga apa-apa. Maaf yah, aku sudah merepotkan kamu, aku gak tahu lagi mesti gimana. Aku terjebak di sini.” Aku menjelaskan.
“Iya. Yaudah.. ayo.” Dia mengajakku sambil menjulurkan tangannya lebar, tangan yang sudah tak asing lagi bagiku, tangan yang dulu sempat menggenggamku ‘cukup lama’, dua tahun-an mungkin.
“I.i.iiya…” Aku meraih tangannya dan aku menatapnya, meski tak begitu jelas, meski remang-remang, tapi aku masih bisa membayangkan bagaimana parasnya sekarang.
“Sini berlindung di jaketku, hujannya deras sekali. Aku tak mau kalo kamu langsung bersin-bersin kaya dulu.” Dia menarikku, memberikan perlindungan kepadaku dengan jaketnya.
Aku hanya diam—menurut. Aku dan dia pun lari beriringan menuju ke mobilnya. Aku tak tahu apa yang sedang kupikirkan, Aku merasa keanehan di sini, Aku tak sangka dia masih begitu ingat dengan kebiasaan-kebiasaanku dulu.
“Kamu ko bisa ada di sini sih?” Di dalam mobil, dia memulai pembicaraan.
“Iya, tadi aku diantar temen ayahku, tapi dia pulang lagi, soalnya kakaknya meninggal.” Aku menjelaskan.
“Lalu, kenapa kamu gak ikut pulang?” Dia bertanya, masih seperti pertama dia membangunkanku, nada bicaranya datar sekali. Tanpa ada hiasan ekspresi pada umumnya.
“Besok pagi aku mau ujian S2-ku, aku pikir bakal ada angkutan umum yang lewat, makanya aku putuskan untuk berhenti di sini saja. Eh, aku malah kejebak di sini.” Aku menambahkan.
“Ooohh.. Yasudah, Kita berhenti dulu yah sebentar dirumahku, setelah itu kita langsung ke kota.” Masih sama, nadanya datar sekali. 
“Ah, maksudnya?” Aku langsung menyambar perkataannya. Kulihat sejenak wajahnya dari samping, setelah itu, mataku liar melihat keluar mobil, suasana tak berubah, hujan masih deras dan petir tak memberi ampun sedikitpun untuk menghentikan kekuatannya.
“Aku antar kamu ke kota, Supaya kamu besok bisa ujian. Kalo misalkan, berangkat subuh-subuh, takut kamu kecapean.” Dia menjelaskan, dan sempat melirik kepadaku. 
“Eh iya, makasih Den.” Suaraku mengecil, aku senang, syukurlah, dia mau membantuku.

Dendra, orang yang dulu sempat jadi pengisi hatiku, orang yang sempat bilang ‘aku suka sama Ras’ dan aku membalasnya sama. ‘Aku juga suka sama Den’. Dulu sekali, mungkin sekitar lima-enam tahunan. Tapi, entah kenapa, walaupun aku waktu itu sebal, kesal, dan marah karena Den menghianatiku. Aku selalu lapang memaafkannya, dan seketika, tak ada lagi rasa sebal, kesal dan marah itu. Aku selalu berpikir, toh jodoh di tangan Tuhan, buat apa aku bersedih hati. 
Dan sekarang, itu terbukti, keadaan mempertemukan kita lagi, Aku tak sangka, aku bisa terjebak di daerah tempat tinggalnya. aku tak sangka, nomor telepon dia masih aktif dari dulu. Aku juga tak sangka, dia masih ingat aku, setelah bertahun-tahun tak bertemu.  Tapi syukurlah….

                                                                        ***

“Ras.. Ras.. Rasti kecapean yah?” Lagi, dia membangunkanku yang kembali tertidur di mobilnya.
“Eh, ya ampun maaf Den, hehe.” Aku mengucek mataku. “Ini di rumah kamu yah?” Aku bertanya dan langsung melihat keadaan sekitar.
“Iya.. Ayo masuk dulu. Kamu makan dulu, pasti kamu lapar.” Nada bicaranya berubah, dia tak sedatar tadi. Wajahnya lebih ekspresif.
“Ih, ga usah Den. Aku jadi gak enak sama kamu. Lagian ini sudah tengah malam, ga baik makan tengah malam begini.” Aku membela diri.
“Alaaahhh.. Kamu so pinter, biasanya juga kamu makan kapan aja, gak kenal malam, gak kenal siang. Iya kan? hahaha.” Dia tertawa mengejekku. ternyata dia masih begitu hapal dengan kebiasaanku dulu.
“ah Den bisa aja.” Aku agak sedikit malu dia bicara seperti itu.
“Ayo turun, pake lagi jaketnya. Ibuku sudah masak, tadi sebelum berangkat aku sudah menyuruhnya. Oya, maaf juga yah, tadi aku gak balas sms kamu yang pertama, soalnya aku lagi di kamar mandi, terus aku telat jemput kamu itu, aku lupa naroh kunci mobilku.” Dia menjelaskan.
“hehe iya, ternyata kamu masih kaya dulu yah, pelupa. hehehe.” Aku membalas mengejek.
“Beginilah, tak ada yang berubah dariku. Ih ko malah ngobrol sih, ayo cepat turun.” 

                                                                          ***

Selepas makan tengah malam itu, Den langsung mengantarku ke kota. 
“Ras, kamu hebat yah, udah S2 lagi.” Dia memulai percakapan di perjalanan yang kedua ini.
“iya, alhamdulillah Den, setelah lulus S1 Farmasi, ayahku langsung menyuruhku lanjut S2.” Aku menjawab.
“Bagus itu, terus kamu belum kerja dong?”
“Belum, Den. Tapi, alhamdulillah, udah ada kepala Rumah Sakit swasta yang menawarkan aku untuk kerja di sana selepas wisudaku nanti. Kalo kamu udah kerja?” Aku menjelaskan.
“Aku udah, Ras. Di dinas Kehutanan. Oya Ras, aku mau tanya sesuatu sama kamu?” Dia tiba-tiba melirikku tajam.
“Apa, Den?” Aku membalas meliriknya. Hujan di luar tak ada yang berubah, mungkin cuma frekuensi petir saja yang agak berkurang.
“Ras, kapan nikah?” 
“Ih.. hahaha.. aduh, Den. Kok nanya kapan nikah sih.” Aku tertawa.
“Iya. Takutnya kamu mau cepat nikah. Soalnya aku udah siap kapanpun kamu mau nikah.” Dia menjawab dengan serius.
“Maksud kamu?” Aku mengkerutkan dahi.
“Iya, Aku siap untuk menikah sama kamu kapanpun itu. Kamu mau kan menikah denganku? Kapanpun kamu mau, aku akan siap, aku akan menunggu.” Sejenak dia menatapku tajam.
“Den??” Hatiku sungguh bertanya-tanya.
“Ras, Aku mencintaimu, Maafkan aku, dulu aku sempat membuat kamu kecewa. Tapi, sekarang aku janji, aku takkan mengecewakanmu lagi.” Tiba-tiba dia menghentikan mobil. “Maukah kamu menikah denganku?” Kali ini, lama dia menatapku. Aku sungguh kehabisan kata-kata. Aku tak tahu harus bicara apa.
“Den, Minggu depan, setelah aku selesai ujianku, maukah kamu datang ke Ayahku untuk mengatakan itu?” aku menatap matanya, aku melayang, aku tak sadar telah mengucapkan itu.
“Benarkah?!” Dia sedikit berteriak, membangunkan tahta lamunanku di matanya 
“Eh, ii.iiya..”
“Aku akan menemui ayahmu, Aku akan menunggumu,Ras.” Dia semangat sekali, dan langsung menghidupkan kembali mobilnya.
Hujan malam ini sungguh hujan terindah dalam hidupku, petir malam ini adalah petir nyanyian yang indah untukku. Dan situasi terpaksa yang dipaksakan ini sungguh menemukanku dengan gerbang kebahagiaan, semoga….

Ternyata benar pemikiranku dulu saat aku dikecewakan oleh dia, oleh orang yang akan melamarku minggu depan. Buat apa aku bersedih saat dia menyakiti dan mengecewakanku, toh jodoh ada di tangan Allah..
Teruslah berkarya dan memantaskan diri, pasti jodoh terbaik akan datang dengan sendirinya.



 —Ana Samrotul Inayah

0 komentar:

Posting Komentar

Terimakasih atas kunjungan anda ke blog Ana. Silahkan berikan komentar dan masukannya :)